Pelajaran 1
KEDUDUKAN FIKIH
DALAM ISLAM
Islam adalah agama terakhir dan paling sempurna. Ajaran
dan hukumnya sesuai dengan fitrah dan maslahat manusia. Menerapkan ajaran Islam
merupakan jalan yang menjamin kebahagiaan, dan sebuah lingkungan yang ideal ialah
sebu-ah masyarakat yang menerapkan hukum-hukum Islam. Dan fikih sebagai subjek
rangkaian pelajaran-pelajaran ini meru-pakan salah satu dasar utama
undang-undang islami dan insani.
Secara umum,
ajaran Islam terbagi kepada tiga bagian:
1.
Ajaran-ajaran keyakinan yang disebut dengan ushu-luddin.
2.
Aturan-aturan praktis yang disebut dengan furu-’uddin
atau fikih.
Bagian pertama: adalah ajaran yang berkaitan dengan pe-lurusan pikiran
dan keyakinan manusia. Ajaran ini harus diterima berdasarkan argumentasi;
sekalipun sederhana. Karena ajaran ini
berupa kepercayaan yang memerlukan suatu keyakinan, maka di dalamnya tidak
diperbolehkan taklid dan ikut-ikutan orang lain.
Bagian kedua adalah ajaran-ajaran praktis yang menen-tukan
tugas-tugas manusia sekaitan dengan pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan
atau yang harus diting-galkan. Ajaran ini disebut dengan hukum (baca: fikih).
Berkenaan dengan hukum, tidak ada larangan untuk bertaklid kepada orang lain
(baca: marja’ atau mujtahid).
Pembagian Hukum
Dalam Islam, setiap pekerjaan manusia memiliki hukum
tertentu. Hukum-hukum tersebut antara lain:
1.
Wajib: adalah pekerjaan yang harus dilakukan, dan jika seseorang meninggalkannya,
ia akan mendapatkan sik-sa, seperti salat dan puasa.
2.
Haram: adalah pekerjaan yang harus ditinggalkan, dan jika seseorang
mengerjakannya, ia akan mendapatkan siksa, seperti bohong dan mendzalimi orang lain.
3.
Sunah: adalah pekerjaan yang jika seseorang dila-kukannya, ia akan mendapatkan
pahala, dan jika ia meninggalkannya, ia tidak mendapatkan siksa, seperti salat
tahajud dan bersedekah.
4.
Makruh: adalah pekerjaan yang jika seseorang mening-galkannya, ia akan
mendapatkan pahala, dan jika ia melakukannya, ia tidak mendapatkan siksa,
seperti me-niup makanan dan memakan makanan panas.
5.
Mubah: adalah pekerjaan yang hukumnya sama antara mengerjakannya dan
meninggalkannya, dan pelakunya tidak mendapatkan siksa ataupun pahala; seperti
ber-jalan dan duduk. (1)
Taklid
Taklid berarti mengikuti. Mengikuti dalam masalah fikih
yaitu mengikuti seorang fakih (seorang ahli fikih). Artinya, seorang mukallaf
(muslim) dalam melakukan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan fatwa-fatwa
seorang atau mujtahid yang diyakininya. (2)
1.
Kewajiban seorang yang bukan mujtahid—dan tentu-nya dia
tidak mampu menyimpulkan hukum-hukum Allah swt. secara langsung dari
sumber-sumbernya—ialah bertaklid (mengikuti) pendapat dan fatwa se-orang marja’
atau mujtahid.(3)
2.
Tugas sebagian besar dari masyarakat dalam fikih Islam
ialah bertaklid, karena hanya sedikit orang yang mampu berijtihad di bidang
fikih.(4)
3.
Seorang mujtahid yang diikuti oleh orang lain disebut
sebagai marja’ taklid.
4.
Seorang mujtahid yang diikuti oleh orang lain harus
memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Adil.
b.
Hidup.
c.
Laki-laki.
d.
Baligh.
e.
Syi’ah Imamiyah.
f. Berdasarkan ihtiyath wajib(5),
hendaknya dia paling pandai (a’lam) di antara para mujtahid, dan tidak rakus akan dunia.(6)
Keterangan Syarat-syarat Seorang Marja’
1.
Adil adalah orang yang berada pada tingkatan takwa.
Artinya dia selalu mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan dosa-dosa.
Tanda-tanda orang yang memiliki sifat adil adalah tidak melakukan dosa-dosa
besar* dan tidak mengulangi dosa-dosa kecil.[7]
2.
Orang yang baru baligh atau selama ini belum pernah
bertaklid, dia harus menetapkan seorang mujtahid yang masih hidup sebagai marja’-nya.
Maka, untuk memulai bertaklid, dia tidak boleh menjadikan seorang mujtahid yang
sudah meninggal dunia sebagai marja’-nya.[8]
3.
Seseorang yang bertaklid kepada seorang marja’
yang kemudian meninggal dunia sementara dia masih ingin bertaklid kepadanya,
dia harus mendapat izin dari muj-tahid yang masih hidup yang diikutinya. Bila
mendapat izin untuk itu, maka dia dapat tetap bertaklid kepada marja’
sebelumnya yang telah meninggal dunia itu.[9]
4.
Ada kondisi-kondisi dimana seseorang yang telah men-dapat
izin untuk tetap bertaklid kepada marja’-nya yang telah meninggal harus
merujuk kepada marja’ kedua (yang masih hidup). Kondisi-kondisi tersebut
antara lain; bila marja’ pertama (yang telah meninggal) dalam sebuah
masalah tidak memiliki fatwa sementara marja’-nya yang sekarang memiliki
fatwa, dan dalam masalah-masalah baru yang tidak ada di masa marja’
sebelumnya seperti; perang atau gencatan senjata dan lain-lainnya.[10]
5.
Seorang mujtahid yang diikuti fatwanya oleh orang lain
harus penganut Syi’ah Imamiyah; yaitu mazhab Syi’ah yang meyakini dua belas
imam. Maka, seorang mukallaf yang bermazhab Syi’ah Imamiyah tidak boleh
menga-malkan fatwa-fatwa ulama dan para mujtahid yang tidak bermazhab Syi’ah
Imamiyah.[11]
6.
Islam menetapkan tugas perempuan dan laki-laki sesuai
dengan kodrat penciptaannya. Perempuan tidak dibeba-ni tanggung jawab agar
menjadi marja’. Tanggung jawab menjadi marja’ sangatlah berat;
sebuah posisi yang amat penting. Namun, ini tidak berarti menghapus kebebasan
mereka. Ketidakbolehan perempuan menjadi marja’ tidak berarti ia
kehilangan peluang menjadi mujtahid. Islam mendorong perempuan mencapai puncak
keilmu-an dengan menjadi mujtahid, namun tidak menjadi marja’. Perempuan
mujtahid dapat menggali sendiri hukum-hukum Allah dari sumber-sumbernya, yakni
Al-Quran, Sunah, Akal dan Ijma’. Pada posisi ini, ia memang tidak perlu
bertaklid kepada orang lain.
7.
Yang dimaksudkan dari ‘paling pandai’ ialah ihwal seorang
mujtahid yang lebih handal dari mujtahid yang lain dalam menggali hukum-hukum
fikih dari sumber-sumbernya.[12]
8.
Seorang mukallaf[13]
wajib melakukan penelitian (tafahhush) dalam rangka menentukan mujtahid
paling pandai.[14]
9.
Setiap pribadi memiliki kebebasan dalam bertaklid dan
tidak harus sama dengan orang lain. Seorang istri, misalnya, dalam hal
bertaklid tidak harus sama dengan suaminya. Bila dia telah menentukan seseorang
sebagai mujtahid yang telah memiliki syarat-syarat untuk ditaklidi, maka dia
bisa bertaklid kepadanya sekalipun suaminya telah bertaklid kepada mujtahid
yang lain.[15]
Kesimpulan Pelajaran
1.
Ajaran-ajaran Islam terdiri dari akidah, fikih dan
akhlak.
2.
Hukum praktis terdiri dari wajib, haram, sunah, makruh
dan mubah.
3.
Taklid adalah mengamalkan fatwa seorang marja’ taklid.
4.
Tidak dilarang untuk tetap bertaklid pada mujtahid yang
sudah meninggal dunia selagi ada izin dari muj-tahid yang masih hidup.
5.
Seseorang yang tetap bertaklid kepada mujtahid yang sudah
meninggal dunia dalam masalah-masalah baru harus bertaklid kepada mujtahid yang
masih hidup.
6.
Dalam bertaklid, setiap orang bebas dan tidak harus sama
dengan orang lain.
a. Dosa besar adalah dosa yang balasannya adalah azab dan
api neraka seperti; berbohong, memfitnah dan sebagainya. Dan selainnya adalah
dosa kecil.
0 komentar:
Posting Komentar